Fulton Sheen (1948)
Peradaban yang runtuh seringkali ditandai dengan hilangnya kesadaran masyarakat akan tragedi yang terjadi. Manusia cenderung tidak peka terhadap krisis yang dihadapi. Mereka enggan mengakui kejahatan zaman mereka sendiri, karena itu berarti menyalahkan diri sendiri dan mereka tidak memiliki standar luar untuk mengukur zaman mereka. Tanpa konsep keadilan yang jelas, sulit bagi orang untuk menyadari pelanggaran terhadap keadilan. Orang yang hidup dengan iman lebih mengerti apa yang terjadi di dunia. Sebaliknya, masyarakat yang tidak beriman tidak menyadari proses kehancuran yang terjadi, karena mereka telah kehilangan pandangan tentang kejatuhannya. Tragedi ini bukan karena peradaban kita sudah tua, tapi karena kita gagal melihatnya. Niebuhr mengatakan bahwa peradaban komersial dan industri seharusnya khawatir tentang kelangsungan hidupnya, namun justru optimis. Ini karena peradaban kita lebih mekanis daripada organik, sehingga kita mudah terlena dengan alat-alat produksi dan konsumsi.
Seperti yang tertulis dalam Kitab Suci, ketika Sodom dihancurkan, matahari bersinar terang; orang-orang melihat Nuh mempersiapkan diri untuk banjir seratus dua puluh tahun sebelumnya, tetapi mereka tidak percaya. Di tengah-tengah keadaan yang tampak sejahtera, malaikat menerima perintah, tetapi masyarakat terus dengan rutinitas kotor mereka. Seperti yang Tuhan kita katakan: “Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.” (Matius 24:38-39). Juru Selamat kita berkata benar kepada kita seperti yang Dia katakan kepada orang Saduki dan orang Farisi pada zaman-Nya: “Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak.” (Matius 16:2-3)
Apakah kita mengetahui tanda-tanda zaman ini? Kebanyakan orang takut untuk menghadapi kenyataan bahwa tujuan-tujuan positif dalam suatu perang yang diperjuangkan tidak tercapai. Sedikit yang menyadari bahwa kejahatan tidak hanya ada di luar kita, tetapi juga di dalam diri kita; Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah membuat kita menjadi penonton yang pasif, mengalihkan perhatian dan kesadaran kita sebagai manusia yang harus bertindak. Penemuan bom atom, yang memberikan kekuatan besar kepada manusia, telah menyembunyikan kelemahan batin kita. Tanda-tanda zaman kita menunjukkan kebenaran bahwa kita telah sampai pada akhir bab pasca-Renaissance dalam sejarah yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu.
Lebih khusus lagi, tiga dogma dasar dunia modern sedang memudar di depan mata kita.
- Dogma Manusia Ekonomi dan Laissez-Faire,
Masa sekarang ini kita sedang menyaksikan dogma dunia moderen ini mulai ditantang dan dikritisi. Dogma ini berkeyakinan bahwa (1) individu yang mengejar keuntungan ekonomi sendiri secara otomatis menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Keyakinan dogma ini mengerdilkan manusia menjadi mahluk hidup yang hidupnya hanya untuk bereproduksi dan mengumpulkan kekayaan, lalu kemudian setelah bertahun-tahun akan mati.
Selain itu ada prinsip yang mengembangkan dogma ini yaitu Prinsip Laissez-faire; yang berprinsip bahwa (2) kepentingan terbaik bagi seluruh dunia, negara, dan masyarakat dapat dipenuhi dengan membiarkan setiap individu menentukan nasib ekonominya sendiri sesuai keinginannya. Akibat dari prinsip ini berdampak buruk karena jika setiap individu dibiarkan menentukan nasib ekonominya sendiri semaunya, kekayaan akan segera terkonsentrasi di tangan segelintir orang dan mayoritas besar akan menjadi budak, seperti yang ditunjukkan oleh Hilaire Belloc. Jadi, dari sistem ekonomi yang salah yang hanya menekankan hak kepemilikan pribadi dan melupakan fungsi sosial, dunia bereaksi terhadap ekonomi totaliter yang menekankan fungsi sosial dan melupakan hak pribadi. Akibatnya, homo economicus mati dan homo politicus lahir. - Dogma Kebaikan Manusia Alami,
Dogma ini merupakan keyakinan bahwa manusia pada dasarnya baik dan secara alami condong ke arah kebaikan. Dogma ini meyakini bahwa manusia memiliki potensi untuk mencapai kemajuan dan kebahagiaan melalui pendidikan dan kemajuan ilmiah. Pandangan ini memiliki akar sejarah yang panjang, mulai dari filsafat Yunani kuno hingga pemikiran Pencerahan Eropa. Tokoh-tokoh seperti Jean-Jacques Rousseau dan John Locke memainkan peran penting dalam mempopulerkan gagasan bahwa manusia dilahirkan dengan kebaikan bawaan dan bahwa masyarakat dan institusilah yang dapat merusak kebaikan tersebut. Namun Dogma ini memudar karena kenyataannya sejarah manusia penuh dengan contoh kekerasan, kekejaman, dan ketamakan, yang bertentangan dengan gagasan tentang kebaikan bawaan. Peran sains dan pendidikan dalam menciptakan teknologi dan senjata yang dapat digunakan untuk tujuan destruktif. Apakah keyakinan dari dogma ini mengenai kemajuan ilmiah secara otomatis mengarah pada kebaikan masih relevan? Tidak relevan lagi karena peran kompleks dari faktor-faktor sosial, budaya, dan politik dalam membentuk perilaku manusia, serta potensi penyalahgunaan sains dan teknologi. Oleh karena itu suatu kewajiban yang harus diperjuangkan dan dipupuk melalui pendidikan, refleksi diri, dan interaksi sosial yang positif. - Dogma Rasionalisme Semata
Dogma ini mengacu pada keyakinan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran yang dapat diandalkan. Dan meyakini bahwa manusia dapat memahami dan memecahkan semua masalah melalui penerapan logika dan pemikiran rasional. Pandangan ini memiliki akar sejarah yang panjang, berasal dari filsafat Yunani kuno dan berkembang pesat selama Era Pencerahan. Tokoh-tokoh seperti René Descartes dan Immanuel Kant memainkan peran penting dalam mempopulerkan gagasan bahwa akal budi adalah alat yang cukup untuk memahami realitas dan mencapai kemajuan. Namun, dogma Rasionalisme Semata telah menghadapi kritik dan pertanyaan selama berabad-abad. Salah satu kritik utama adalah bahwa dogma ini mengabaikan bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti pengalaman, intuisi, dan emosi. Kritik lain berpendapat bahwa akal budi itu sendiri tidak bebas dari bias dan prasangka, dan bahwa pemikiran rasional dapat dimanipulasi untuk membenarkan tujuan yang tidak etis.
Secara umum, zaman kita sedang menyaksikan akhir dari liberalisme historis. Liberalisme bisa berarti kemajuan menuju kebebasan yang harus didukung, atau penolakan hukum dan kebenaran yang harus dikritik. Kaum liberal dan reaksioner, meskipun berbeda, sama-sama tidak melihat keabadian dan perubahan secara bersamaan. Kaum reaksioner ingin segala sesuatu tetap seperti apa adanya, sementara kaum liberal menginginkan perubahan meskipun tidak terlalu peduli dengan arahnya. Kaum reaksioner percaya untuk tinggal di tempat mereka berada tanpa mempertanyakan hak mereka di sana, sedangkan kaum liberal tidak tahu ke mana mereka pergi, tetapi yakin bahwa mereka sedang dalam perjalanan.
Istilah “reaksioner” dan “liberal” sangat relatif sehingga tidak memiliki makna yang tetap bagi pemikir yang memahami sejarah atau masih memiliki akal budi. Sebagai contoh, kaum liberal di masa lalu menggunakan liberalisme untuk membebaskan kegiatan ekonomi dari kontrol negara, sementara kaum liberal saat ini menggunakan liberalisme untuk memperluas kontrol negara atas ekonomi. Kaum liberal dahulu menjadi pembela kapitalisme, namun kaum liberal baru bereaksi terhadap kapitalisme dan menginginkan semacam kolektivisme atau kontrol negara. Kaum liberal dahulu ingin kebebasan pers, berbicara, dan hati nurani dalam kerangka demokrasi, sementara kaum liberal baru, yang menentang liberalisme lama, menginginkan kebebasan tanpa kerangka sebagai pengaman. Kaum liberal lama memberontak terhadap pajak tanpa tanggung jawab, sedangkan kaum liberal baru menginginkan pajak sebagai bantuan tanpa tanggung jawab.
Lima puluh tahun yang lalu, kaum liberal tua cenderung materialistis dalam sains. Namun, anak-anak mereka yang disebut sebagai kaum liberal saat ini justru menganggap sains sebagai idealis. Kaum liberal Prancis yang memprotes otoritas raja dan gereja atas nama kebebasan pada zaman dahulu sekarang dianggap sebagai kaum reaksioner, karena mereka tidak memperjuangkan kebebasan untuk kaum proletar. Banyak dari mereka yang menulis tentang keyakinan mereka pada kesetaraan semua orang ternyata memiliki budak.
Intinya, reaksioner selalu menentang kaum liberal. Terkadang, seseorang bisa menjadi kombinasi keduanya, seperti yang terjadi pada Milton. Meskipun awalnya seorang liberal yang mendukung kebebasan pers dan menentang sensor buku, ia akhirnya menjadi petugas sensor buku resmi setelah ditawari gaji besar. Dunia ini terus bergerak antara reaksi dan pemberontakan. Reaksioner dan liberal seperti bermain jungkat-jungkit, berpikir bahwa mereka akan mencapai sesuatu saat naik atau turun. Terkadang, kaum liberal malah berperang satu sama lain.
Jelas terlihat bahwa liberalisme historis sudah usang, seperti jam matahari yang tidak bisa menunjukkan waktu di kegelapan. Liberalisme hanya bisa berfungsi dalam masyarakat yang bermoral, dimana sisa-sisa ajaran Kristen masih ada. Dari sudut pandang lain, liberalisme historis adalah parasit yang hidup dari peradaban Kristen. Ketika peradaban itu, yang menjadi tempatnya bergantung, lenyap sebagai penggerak masyarakat, maka liberalisme historis itu sendiri akan musnah. Kebebasan individu yang ditekankan oleh liberalisme historis hanya bisa aman jika komunitasnya religius dan bisa memberikan dasar etis untuk kebebasan tersebut. Sangat mungkin bahwa liberalisme historis hanyalah era peralihan dalam sejarah, antara peradaban Kristen dan peradaban yang anti-Kristen.
Tanda zaman lainnya yang semakin jelas adalah kita sedang berada di penghujung era peradaban yang tidak beragama. Era ini menganggap agama sebagai tambahan dalam hidup, kegiatan saleh di luar kebutuhan, pendorong moral untuk individu tapi tidak relevan secara sosial, ambulans yang mengurus kerusakan tatanan sosial sampai sains mencapai titik dimana tidak ada lagi kerusakan. Era ini hanya memanggil Tuhan sebagai pembela cita-cita nasional, atau mitra diam yang namanya dipakai untuk menunjukkan tanggung jawab, tapi tidak punya suara dalam menjalankan urusan.
Era baru yang kita masuki bisa disebut sebagai fase religius dalam sejarah manusia. Namun, “religius” di sini tidak berarti manusia akan kembali kepada Tuhan, melainkan ketidakpedulian terhadap hal-hal absolut yang mencirikan fase liberal peradaban akan digantikan oleh hasrat terhadap hal-hal absolut. Perjuangan kedepan bukan lagi untuk koloni dan hak nasional, tapi untuk jiwa manusia. Tidak akan ada lagi pedang yang terhunus setengah, tidak ada loyalitas yang terbagi, tidak ada toleransi yang dangkal; bahkan tidak akan ada lagi bid’ah besar, karena bid’ah didasarkan pada penerimaan kebenaran sebagian. Garis pertempuran sudah mulai jelas dan isu-isu dasarnya tidak lagi diragukan. Mulai sekarang manusia akan terbagi menjadi dua agama – yang dipahami sebagai penyerahan kepada hal-hal absolut.
Konflik masa depan adalah antara absolut yang adalah Tuhan-manusia, dan absolut yang adalah manusia-Tuhan. Tuhan yang menjadi manusia, dan manusia yang menjadikan dirinya Tuhan; saudara se-Kristus dan kawan se-Anti-Kristus.
Anti-Kristus tidak akan disebut demikian; kalau begitu dia tidak akan punya pengikut. Dia tidak akan memakai pakaian merah ketat, tidak akan memuntahkan belerang, tidak akan membawa trisula atau mengayunkan ekor berpanah seperti Mephistopheles dalam Faust. Penyamaran ini membantu Setan meyakinkan manusia bahwa dia tidak ada. Semakin tidak dikenali manusia, semakin besar kekuasaannya. Tuhan mendefinisikan diri-Nya sebagai “Aku adalah Aku,” dan Setan sebagai “Aku adalah yang tidak ada.”
Tidak ada satupun bagian dalam Kitab Suci yang mendukung mitos popular tentang Setan sebagai monster atau mahluk menakutkan yang berwarna merah darah atau api. Sebaliknya dia digambarkan sebagai malaikat yang jatuh dari surga dan sebagai “Penguasa dunia ini,” yang tugasnya adalah memberitahu kita bahwa tidak ada dunia lain. Logikanya sederhana: jika tidak ada surga maka tidak ada neraka; jika tidak ada neraka, maka tidak ada dosa; jika tidak ada dosa, maka tidak ada hakim, dan jika tidak ada penghakiman maka kejahatan adalah kebaikan dan kebaikan adalah kejahatan. Namun di atas semua deskripsi ini, Tuhan kita memberitahu kita bahwa dia akan sangat mirip dengan diri-Nya sendiri sehingga dia bisa menipu bahkan orang-orang pilihan – dan pastinya tidak ada setan yang pernah digambarkan di buku cerita bisa menipu orang-orang pilihan.
Bagaimana Anti-Kristus Akan Memikat Pengikut di Era Baru Ini?
Menurut kepercayaan orang Rusia sebelum era Komunis, Anti-Kristus akan datang dengan menyamar sebagai tokoh Kemanusiaan Agung. Dia akan banyak bicara tentang perdamaian, kemakmuran, dan kelimpahan, tapi bukan sebagai jalan untuk mendekatkan kita kepada Tuhan, melainkan sebagai tujuan utama. Dia akan menulis buku-buku tentang konsep Tuhan yang baru, sesuai dengan gaya hidup manusia saat itu. Dia akan membuat orang percaya pada astrologi, seolah-olah bintang, bukan keinginan bebas, yang menyebabkan dosa. Dia akan menjelaskan rasa bersalah sebagai dorongan seksual yang terpendam, dan akan membuat orang malu jika dicap tidak toleran dan liberal oleh orang lain. Dia akan sangat “berpikiran terbuka” sehingga menganggap toleransi sama saja dengan ketidakpedulian terhadap benar dan salah. Dia akan menyebarkan kebohongan bahwa manusia tidak akan pernah bisa lebih baik sampai mereka memperbaiki masyarakat, dan dengan demikian mementingkan diri sendiri menjadi bahan bakar untuk revolusi berikutnya. Dia akan mendorong kemajuan sains, tapi hanya agar para pembuat senjata bisa menggunakan penemuan ilmiah untuk saling menghancurkan. Dia akan mendorong perceraian dengan alasan mencari pasangan yang “lebih cocok.” Dia akan lebih mementingkan cinta secara umum daripada cinta kepada seseorang. Dia akan menggunakan agama untuk menghancurkan agama. Dia bahkan akan berbicara tentang Kristus dan menyebutnya sebagai manusia terhebat yang pernah ada. Misinya, katanya, adalah membebaskan manusia dari perbudakan takhayul dan Fasisme, yang definisinya tidak akan pernah dia jelaskan. Dia akan menyelenggarakan acara untuk anak-anak, mengatur siapa yang boleh menikah dan bercerai, siapa yang boleh punya anak dan siapa yang tidak. Dia akan berpura-pura baik hati dengan membagikan permen coklat untuk anak-anak dan susu untuk orang miskin.
Dia akan menggoda orang Kristen dengan tiga cara yang sama seperti dia menggoda Kristus. Godaan untuk mengubah batu menjadi roti sebagai Mesias duniawi akan menjadi godaan untuk menukar kebebasan dengan keamanan, menjadikan roti sebagai senjata politik yang hanya bisa dimakan oleh pengikutnya. Godaan untuk melakukan mukjizat dengan nekat melompat dari menara gereja akan menjadi bujukan untuk meninggalkan kebenaran sejati di tempat tinggi, dimana iman dan akal budi berkuasa, menuju jurang ke bawah dimana massa hidup berdasarkan slogan dan propaganda. Dia tidak menginginkan pernyataan prinsip-prinsip abadi dari tempat tinggi, tapi organisasi massa melalui propaganda, di mana orang biasa yang mengendalikan orang biasa lainnya. Opini, bukan kebenaran, komentator, bukan guru, survei, bukan prinsip, dan alam, bukan kasih karunia Tuhan – kepada “patung emas” ini manusia akan berpaling dari Kristus. Godaan ketiga di mana Setan meminta Kristus untuk menyembahnya dan semua kerajaan dunia menjadi miliknya, akan menjadi godaan untuk memiliki agama baru tanpa Salib, liturgi tanpa dunia akhirat, agama untuk menghancurkan agama lain, atau politik yang menjadi agama – yang memberikan kepada Caesar apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan.
Meskipun tampak sangat mencintai manusia dan banyak bicara tentang kebebasan dan kesetaraan, Anti-Kristus memiliki rahasia besar yang tidak akan dia ceritakan kepada siapapun: dia tidak percaya kepada Tuhan. Karena agamanya adalah persaudaraan tanpa Bapa di surga, dia akan menipu bahkan orang-orang pilihan Tuhan. Dia akan mendirikan gereja palsu yang meniru Gereja Tuhan, karena dia, si Iblis, adalah peniru Tuhan. Gereja palsu ini akan memiliki semua ciri khas Gereja Tuhan, tetapi dibalik dan dikosongkan dari unsur ilahi. Ini akan menjadi tubuh mistis Anti-Kristus yang secara lahiriah mirip dengan tubuh mistis Kristus. Dalam kebutuhan yang dalam akan Tuhan, yang tetap ditolaknya, manusia modern dalam kesepian dan kekecewaannya akan semakin haus untuk menjadi anggota komunitas yang memberinya tujuan hidup yang lebih besar, tetapi dengan resiko kehilangan dirinya sendiri di dalam kelompok yang samar-samar. Maka pada saat itulah paradoks akan terjadi – alasan yang sama mengapa orang pada abad lalu menolak Gereja Tuhan justru akan menjadi alasan mengapa mereka sekarang menerima gereja palsu.
Pada abad-abad sebelumnya, Gereja banyak ditolak karena dianggap tidak bisa salah. Orang-orang tidak percaya bahwa pemimpin tertinggi Gereja tidak akan pernah salah ketika berbicara tentang masalah iman dan moral. Tapi di abad ke-20, orang-orang justru akan bergabung dengan gereja palsu, karena gereja ini mengaku tidak bisa salah. Pemimpin mereka yang ada di Moskow, yang memimpin komunisme dunia, dianggap tidak akan pernah salah dalam hal ekonomi dan politik.
Alasan lain penolakan Gereja di masa lalu adalah Gereja dianggap sebagai organisasi universal yang ingin menyatukan semua orang berdasarkan satu Tuhan, satu iman, dan satu baptisan. Orang-orang pada abad ke-19 merasa tidak mungkin menjadi warga negara yang baik (Amerika, Prancis, Jerman) jika mereka menerima pemimpin spiritual dari luar negaranya. Namun di era baru ini, yang disukai oleh jiwa-jiwa modern yang tersesat adalah bahwa gereja palsu ini bersifat internasional. Mereka menghilangkan batasan negara, mencemooh nasionalisme, dan membuat orang tidak perlu lagi setia pada negara seperti yang diajarkan oleh Kristus. Mereka bangga bukan menjadi orang Amerika, Prancis, atau Inggris, melainkan anggota kelas revolusioner di bawah pemimpin yang berkuasa di Kremlin.
Sebelumnya, Gereja ditolak karena dianggap tidak toleran. Gereja mengeluarkan orang-orang yang tidak sepaham (bidat) dan mengajarkan bahwa Kristus hanya mendirikan satu Gereja, bahwa Kebenaran itu tunggal, ajaran Gereja terus berkembang, dan seseorang harus menerima semuanya, tidak bisa sebagian. Namun di masa yang sulit ini, anak dan cucu dari orang-orang yang dulu menolak Gereja justru bergabung dengan gereja palsu karena gereja ini tidak toleran. Mereka mengeluarkan anggota yang tidak sepaham, bahkan membunuh para pembangkang, dan tidak menerima siapa pun yang tidak setuju dengan ideologi mereka. Mereka tidak peduli dengan konsep satu gembala dan satu kawanan, yang mereka inginkan hanyalah satu koloni semut dan satu pemakan semut.
Dulu dunia liberal menolak Gereja karena dianggap terlalu kaku. Gereja memiliki definisi yang rumit tentang konsep teologis seperti Hipostasis dan Dikandung Tanpa Noda. Gereja juga dinilai terlalu berjenjang, dengan para uskup yang mendapat kuasa dari para Rasul, dan mengaku sebagai penjaga iman dan moral masyarakat. Namun anehnya, banyak orang sekarang justru tertarik dengan gereja palsu karena alasan yang sama. Mereka menyukai ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan secara mutlak oleh gereja palsu ini, seperti materialisme dialektis, determinisme ekonomi, dan teori nilai kerja. Mereka juga menyukai struktur hierarkinya, dengan pemimpin partai yang disetujui berperan seperti uskup gereja baru. Para pemimpin ini, yang seperti polisi rahasia, memastikan para anggotanya mengikuti ideologi partai, bahkan sampai dunia berakhir.
Pikiran modern tidak suka pembicaraan tentang Setan. Padahal, meskipun ateisme modern tidak bisa meyakinkan kita bahwa Tuhan tidak ada, mereka berhasil membuat kita percaya adanya Setan. Ketika manusia lupa bahwa dirinya memiliki jiwa, mereka juga lupa bahwa ada perebutan jiwa tersebut antara kekuatan baik dan jahat. Mereka yang melihat lebih dalam dari orang lain paham bahwa jika Setan tidak ada, semua kejahatan di dunia harus berasal dari sifat manusia. Tidak ada yang mau percaya bahwa manusia pada dasarnya jahat seperti itu.
Paul Tillich, misalnya, menganggap iblis sebagai faktor penting dalam sejarah dan berkaitan dengan keadaan rahmat. “Dalam kedua fenomena tersebut, kekuatan kreatif asli yang meledak keluar dari bentuknya, menerobos kesadaran. Dalam kedua kasus tersebut, roh diangkat dari keterasingannya; dalam kedua kasus tersebut, ditundukkan pada kekuatan baru, yang bukan kekuatan alam, tetapi tumbuh dari lapisan jurang yang lebih dalam yang juga mendasari alam. Paradoks dari keadaan kerasukan sama kuatnya dengan paradoks dari keadaan rahmat; keduanya sama-sama tidak bisa dijelaskan dengan logika sederhana, atau dengan pengamatan rasional terhadap alam. Perbedaannya hanya terletak pada keadaan rahmat, kekuatan yang sama bersatu dengan bentuk tertinggi, sedangkan di dalam keadaan kerasukan, kekuatan itu melawan bentuk tertinggi. Oleh karena itu, rahmat memiliki efek yang memenuhi dan membentuk pembawa bentuk, sedangkan iblis memiliki konsekuensi menghancurkan kepribadian dengan merampas keberadaan dan mengosongkannya dari makna. Ekstasi ilahi membawa peningkatan keberadaan, kekuatan kreatif dan formatif; ekstasi iblis membawa pelemahan keberadaan, disintegrasi, dan pembusukan. Inspirasi iblis memang mengungkapkan lebih banyak daripada ketenangan rasional; ia mengungkapkan hal ilahi, tetapi sebagai realitas yang ia takuti, yang tidak bisa ia cintai, yang tidak bisa ia satukan. ”
Filsuf lain, Berdyaev, juga mengakui adanya unsur iblis dalam sejarah. Dia berpendapat bahwa manusia tidak memiliki sumber kehidupan sendiri. Manusia harus mencari sumber kehidupan ini dari sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari dirinya. Pada akhirnya, manusia harus memilih antara Tuhan atau Setan. “Keberadaan (manusia) hanya bebas jika bersatu dalam cinta yang menghubungkannya dengan Tuhan. Hanya dalam dan melalui Tuhan segala sesuatu terhubung dan disatukan. Di luar Tuhan, semuanya asing dan jauh, dan hanya dipersatukan oleh kekuatan. Setan, dengan kekuatan spiritualnya yang superior, berhasil menyesatkan manusia dengan berbisik bahwa mereka akan menjadi seperti dewa. Tetapi dengan mengejar kejahatan dan menggantikan Tuhan, manusia bukannya menjadi makhluk seperti dewa impiannya, malah menjadi budak dari sifat rendahnya. Pada saat yang sama, karena kehilangan sifat luhurnya, manusia menjadi tunduk pada kebutuhan alamiah dan berhenti menjadi makhluk yang ditentukan secara spiritual. Kebebasan mereka hilang. Jadi, kejahatan melibatkan perpindahan pusat keberadaan yang sebenarnya dan revolusi total hierarki alam semesta. Ini tidak hanya melibatkan roh yang dirasuki oleh kesombongan dengan prinsip material, tetapi juga penggantian aktual dari yang material untuk yang spiritual. Penampakan dunia material yang keras dan kuat hanyalah akibat dari hilangnya pusat sebenarnya di dunia spiritual.” Bagi mereka yang tidak percaya pada kejahatan atau Setan, buku bagus yang membahas tema ini adalah “The Devil’s Share” karya Denis de Rougemont. Penulisnya berpendapat bahwa mengetahui bahaya yang sebenarnya dapat menyembuhkan kita dari ketakutan palsu.
Menanggapi anggapan bahwa Setan hanyalah mitos dan tidak ada, penulis menjawab: “Setan adalah mitos, oleh karena itu dia ada dan terus aktif. Mitos adalah cerita yang menggambarkan dan menjelaskan secara dramatis struktur realitas yang terdalam.”
“Setan ini tidak muncul dari serangkaian teks kuno yang kurang atau lebih otentik. Dia adalah agen permanen dari realitas manusia seperti yang kita jalani ketika kita benar-benar hidup, dalam keadaan kita sebagai makhluk bebas. Artinya, kita terus-menerus dihadapkan pada pilihan, dalam kontradiksi dan kebingungan, paradoks, tragedi. Semua ini mengasumsikan dan menunjukkan adanya kebaikan dan sesuatu selain kebaikan. Jika tidak, di manakah letak pilihan, tragedi, dan kebebasan? Ketika ketidakbaikan ini, kejahatan ini memiliki makna, kita menyebutnya Setan, dan saya menerima nama ini.”
Penulis C.S. Lewis bercerita tentang setan muda bernama Wormwood yang sedang belajar menggoda manusia agar berpaling dari Tuhan. Wormwood berencana menggunakan argumen dan logika untuk membuat manusia percaya materialisme (filsafat yang hanya percaya pada hal materi). Namun, setan senior bernama Screwtape justru mengingatkan Wormwood agar tidak membuang waktu berdebat. Manusia modern sudah terbiasa dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda-beda. Mereka tidak lagi peduli apakah sesuatu itu benar atau salah, tapi lebih pada apakah itu populer, modern, atau berani. Jadi saran Screwtape, jangan buang waktu meyakinkan manusia bahwa materialisme itu benar. Sebaliknya, buatlah manusia berpikir bahwa materialisme itu kuat, modern, dan berani. Itulah hal yang akan membuat manusia tertarik.
Banyak penulis telah membahas tentang Setan dan bagaimana dia menggoda manusia. Salah satu buku terkuat tentang tema ini adalah “The Anti-Christ” karya Joseph Roth. Meskipun terkesan ekstrem, buku ini berhasil membuat kita sadar akan keberadaan Setan. Penulis ini mengatakan bahwa manusia modern sudah menjadi buta, buta terhadap hal-hal di sekitarnya. Kita hanya memiliki nama untuk berbagai hal di dunia ini, tapi tidak lagi bisa melihat wujud aslinya. Akibatnya, kita seakan membangun Menara Babel yang horizontal, dan para “orang buta” ini menganggapnya vertikal dan terus bertambah tinggi. Mereka merasa semuanya baik-baik saja karena bisa saling mengerti, padahal pemahaman mereka tentang bentuk dan warna segala sesuatu hanyalah ilusi. Kata-kata yang tadinya digunakan dengan tepat, kini diartikan secara terbalik. Apa yang tinggi mereka sebut datar, dan yang datar mereka sebut tinggi. Penulis ini percaya bahwa Anti-Kristus sudah ada di antara kita. Kebutaan kita membuat kita tidak bisa melihatnya, seperti halnya orang buta yang tidak bisa membedakan siang dan malam. Kita tertipu oleh penampilannya yang baik dan penuh belas kasih kepada manusia, padahal dia adalah perusak kebebasan kita.
Para penulis Rusia di abad ke-19 punya pandangan unik tentang abad ke-20. Mereka meramalkan bahwa di abad ini, Setan akan memiliki pengaruh kuat terhadap manusia, dan Anti-Kristus akan muncul dengan menyamar sebagai sosok yang sangat peduli terhadap kemanusiaan.
Fyodor Dostoevsky, salah satu penulis Rusia ternama, melihat manusia sebagai makhluk yang bisa mencapai hal luar biasa namun juga bisa jatuh ke jurang kejahatan. Baginya, manusia adalah gambaran dari semua ketegangan yang ada di dunia. Dostoevsky melihat negara-negara di abad ke-20 bersatu untuk memberontak melawan aturan Tuhan dan menjadikan manusia sebagai penguasa. Pada tahun 1877, Dostoevsky menulis, “Menurut saya, abad ini akan berakhir di Eropa dengan sesuatu yang dahsyat. Maksud saya, bukan sesuatu persis seperti Revolusi Prancis, tapi sesuatu yang besar, tak terelakkan, dan mengerikan, yang akan mengubah wajah dunia, setidaknya di Eropa Barat.” Dalam karyanya yang terkenal, “The Brothers Karamazov”, Dostoevsky menggambarkan sosok Grand Inquisitor sebagai representasi dari Anti-Kristus. Dia terlihat penuh belas kasihan dan sangat peduli pada manusia, padahal dia adalah musuh manusia karena dia menghancurkan kebebasan mereka. Dia bahkan muncul seperti Kristus untuk menipu orang-orang baik.
Dalam buku “The Brothers Karamazov”, Fyodor Dostoevsky bercerita tentang Anti-Kristus, sosok yang menipu manusia dengan berpura-pura baik. Anti-Kristus ini berbicara kepada Kristus (yang tidak pernah menjawab), menawarkan keamanan sebagai ganti kebebasan. Anti-Kristus berbicara kepada Kristus, yang tidak pernah menjawab. Anti-Kristus meminta Kristus untuk menyerahkan kebebasan demi keamanan. Dia berkata:
“Hakimi sendiri, siapakah yang benar – Engkau atau aku yang mempertanyakan Engkau? Ingatlah pertanyaan utama ku ini: ‘Engkau akan pergi ke dunia, dan pergi dengan tangan kosong, dengan janji kebebasan yang bahkan tidak dapat dimengerti oleh manusia dalam kesederhanaan dan ketidakteraturan alami mereka, yang mereka takuti dan benci – karena tidak ada hal yang lebih tidak dapat ditopang oleh seorang manusia dan masyarakat manusia selain kebebasan.’
“Tetapi apakah Engkau melihat batu-batu ini di padang gurun yang kering dan tandus ini? Ubahlah batu-batu ini menjadi roti, maka umat manusia akan berlari-lari kepada-Mu seperti kawanan domba yang bersyukur dan taat, meskipun selamanya mereka gemetar, takut kepada-Mu jika mereka tidak taat maka kamu akan menarik tangan-Mu dan tidak memberikan roti-Mu kepada mereka lagi. Tetapi Engkau tidak mengkehendaki itu, Engkau tidak mau merampas kebebasan manusia, Engkau berpikir apa artinya kebebasan itu, jika ketaatan mereka ternyata dibeli dengan roti? Engkau menjawab bahwa manusia hidup bukan dari roti saja. Tetapi tahukah Engkau, bahwa oleh karena roti duniawi itu roh-roh di bumi akan bangkit melawan Engkau, memanfaat roti duniawi agar mereka semua umat manusia akan mengikutinya, sambil berseru, ‘Siapakah yang dapat menandingi binatang itu? Ia telah memberikan kepada kami api dari langit!’
“Engkau memang menjanjikan mereka roti dari surga, tetapi, saya ulangi lagi, dapatkah itu dibandingkan dengan roti duniawi di mata umat manusia yang lemah, yang selalu berdosa dan hina? Dan jika demi roti Surga ribuan dan puluhan ribu orang akan mengikut Engkau, apa yang akan terjadi dengan jutaan dan puluhan ribu makhluk yang tidak memiliki kekuatan untuk meninggalkan roti duniawi demi roti surgawi? Atau apakah Engkau hanya peduli pada puluhan ribu orang yang besar dan kuat, sementara jutaan orang, sebanyak pasir di lautan, yang lemah tetapi mengasihi Engkau, harus ada hanya untuk kepentingan yang besar dan kuat? Tidak, kami juga peduli pada mereka yang lemah. Mereka berdosa dan memberontak, tetapi pada akhirnya mereka juga akan menjadi taat. Mereka akan mengagumi kami dan memandang kami sebagai dewa-dewa, karena kami siap untuk menanggung kebebasan yang menurut mereka sangat mengerikan dan memerintah mereka – begitu mengerikannya kebebasan bagi mereka. Tetapi kami akan mengatakan kepada mereka bahwa kami adalah hamba-hamba-Mu dan memerintah mereka dalam nama-Mu. Kami akan menipu mereka lagi, karena kami tidak akan membiarkan Engkau datang kepada mereka lagi. Penipuan itu akan menjadi penderitaan kami, karena kami akan dipaksa untuk berbohong. Kami akan menipu mereka dengan mengatakan bahwa kami adalah penyelamat mereka, dan mereka akan mempercayai kami. Kami akan memberi mereka roti dan keamanan, dan mereka akan memberikan jiwa mereka kepada kami. Kami akan memerintah mereka dengan kejam, tetapi mereka akan mencintai kami karena kami akan memberi mereka apa yang mereka inginkan: roti duniawi, keamanan, dan kebebasan dari tanggung jawab. Kami akan menjadi dewa bagi mereka, dan mereka akan menjadi budak kami. Dan dunia akan menjadi milik kami.”
Kristus tidak menjawab. Dia hanya menatap Anti-Kristus dengan tatapan penuh kasih sayang dan kesedihan. Dia tahu bahwa Anti-Kristus telah tersesat dan bahwa dia tidak dapat diselamatkan. Dostoevsky menggunakan percakapan ini untuk menunjukkan bahaya Anti-Kristus. Anti-Kristus menjanjikan apa yang diinginkan manusia: roti, keamanan, dan kebebasan dari tanggung jawab. Dia menawarkan solusi yang mudah untuk masalah kompleks dunia. Namun, tawarannya datang dengan harga yang mahal: kebebasan dan jiwa manusia. Dostoevsky memperingatkan kita untuk berhati-hati terhadap janji-janji manis Anti-Kristus. Kita harus tetap setia kepada Kristus, bahkan ketika Anti-Kristus menawarkan kepada kita semua yang kita inginkan. Kita harus ingat bahwa kebebasan adalah hadiah yang berharga, dan kita tidak boleh menyerahkannya demi roti atau keamanan. Teks ini dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara. Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai peringatan tentang bahaya totalitarianisme dan komunisme. Yang lain mungkin melihatnya sebagai kisah tentang pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Terserah setiap individu untuk memutuskan bagaimana mereka menafsirkan teks ini.
Penulis lain dari Rusia, Vladimir Soloviev, juga menulis tentang Anti-Kristus dalam bukunya “Three Conversations”. Diceritakan ada seorang pemuda berusia tiga puluh tiga tahun yang dipenuhi keegoisan. Dia begitu terobsesi dengan dirinya sendiri sampai-sampai ingin bunuh diri karena merasa Kristus lebih hebat darinya. Tiba-tiba, dia mendengar suara aneh yang dingin dan tanpa perasaan, namun jelas: “Anak kesayanganku, engkau sangat aku sayangi. Mengapa kamu tidak mencariku? Mengapa kamu menyembah yang lain, yang bodoh itu dan Bapanya? Akulah Tuhan dan Bapa. Yang lain, orang malang yang disalibkan itu adalah orang asing bagiku dan bagimu. Engkaulah yang terpilih, anak satu-satunya, setara denganku.”
“‘Aku mencintaimu dan tidak meminta apapun darimu. Kamu penuh dengan keindahan yang luar biasa, kamu hebat dan kuat. Lakukan tugasmu atas namamu sendiri, bukan atas namaku. Aku tidak cemburu padamu, aku mencintaimu. Dia yang kamu sembah sebelumnya sebagai Tuhan menuntut kepatuhan, kepatuhan tanpa batas sampai mati di kayu salib. Dia tidak menolongnya di kayu salib. Aku tidak meminta apapun darimu namun Aku akan menolongmu. Demi kamu, demi keegoisanmu yang luar biasa, demi cintaku yang besar dan tanpa pamrih untukmu, aku akan menolongmu. Terimalah rohku. Rohku memberimu keindahan dan sekarang rohku memberimu kekuatan.'”
Pemuda itu terinspirasi oleh Setan dan menulis buku berjudul “Jalan Terbuka Menuju Perdamaian dan Kemakmuran untuk Dunia”. Buku ini laris manis terjual di seluruh dunia. Banyak orang Kristen yang menerimanya, meskipun nama Kristus tidak disebutkan. Mereka berdalih, “Di masa lalu, semua hal yang suci telah disalahgunakan oleh orang-orang fanatik yang tidak berwenang. Jadi, penulis religius yang sungguh-sungguh harus berhati-hati. Selama isinya penuh dengan semangat cinta dan amal Kristen, apa lagi yang bisa kita minta?”
Akhirnya, pemuda tadi menjadi Presiden Serikat Eropa, dan seluruh dunia menerima kekuasaan dan otoritasnya. Dia mengasingkan Paus dari Roma dan mengangkat dirinya sebagai “Kaisar Dunia Roma”. Dia mengeluarkan manifesto: “Rakyat dunia! Aku menjanjikan perdamaian dan sekarang aku telah memberikannya kepada kalian. Tetapi dunia hanya indah untuk ditinggali selama ada kemakmuran bagi semua. Perdamaian tanpa kemakmuran adalah perdamaian tanpa sukacita. Datanglah kepadaku semua yang lapar dan kedinginan, dan aku akan memberimu makan dan aku akan menghangatkanmu.”
Pada awal tahun keempat pemerintahannya, Kaisar Dunia mengadakan Konsili Gereja Dunia di Yerusalem. Pertemuan ini dihadiri oleh 3.000 orang, termasuk perwakilan Katolik, Protestan, dan Ortodoks, serta setengah juta peziarah. Ada tiga tokoh penting dalam pertemuan ini:
· Paus Petrus yang tidak percaya pada Kaisar.
· Pastor Yohanes, pemimpin tidak resmi umat Kristen Ortodoks.
· Profesor Ernest Pauly, teolog Jerman dari anggota Injili Dewan.
Pembukaan konsili sangat megah. Dua pertiga bait suci yang didedikasikan untuk persatuan semua agama diisi bangku para anggota. Sisanya, di tengah, terdapat panggung dengan singgasana Kaisar. Para anggota konsili beribadah di gereja mereka masing-masing, dan tidak ada upacara keagamaan dalam pembukaan. Saat Kaisar dan pesulap hebatnya muncul, orkestra memainkan lagu Perserikatan Bangsa-Bangsa yang saat itu sudah menjadi lagu kebangsaan Kekaisaran.
Setelah lagu selesai, Kaisar bangkit dari singgasananya dan berterima kasih kepada para musisi dengan gestur yang megah. Dia kemudian berbicara kepada seluruh peserta:
“Umat Kristiani dari semua denominasi, rakyat dan saudara setia saya. Sejak awal pemerintahan saya, saya tidak pernah merasa tidak senang dengan kalian. Kalian selalu memenuhi kewajiban. Kalian setia. Tapi itu tidak cukup bagi saya. Cinta kasih saya yang tulus kepada kalian, para saudara, mendambakan balasan. Saya ingin mencapai keadaan di mana tidak ada rasa kewajiban, tetapi perasaan cinta yang dalam, di mana kalian mengakui saya sebagai pemimpin dalam setiap usaha yang kalian lakukan untuk kemanusiaan. Selain itu, saya ingin melakukan tindakan amal khusus. Umat Kristiani, adakah cara agar saya bisa membuat kalian lebih bahagia? Adakah yang bisa saya berikan? Umat Kristiani saya, beri tahu saya hal yang paling kalian inginkan agar saya bisa mengerahkan upaya ke arah itu.”
Kaisar berpidato di hadapan para peserta konsili. Dia mengaku sebagai pemimpin yang penuh kasih dan ingin membuat mereka bahagia. Dia meminta para pemuka agama untuk memberitahu apa keinginan mereka. Para pemuka agama bereaksi berbeda-beda. Paus Petrus terlihat tidak percaya pada Kaisar. Pastor Yohanes dan Profesor Pauly berdiskusi dengan anggota kelompok mereka masing-masing. Kaisar menyadari para pemuka agama memiliki keinginan yang berbeda-beda. Dia berjanji untuk menyatukan mereka dan memenuhi keinginan masing-masing kelompok. Kaisar khususnya ingin mendapatkan dukungan umat Katolik. Dia berjanji mengembalikan tahta Paus dan semua hak istimewa Gereja Katolik seperti sedia kala. Sebagai gantinya, dia meminta umat Katolik untuk menganggapnya sebagai pelindung dan pemberi bantuan utama mereka. Hampir semua pemimpin Katolik, para kardinal, uskup, dan sebagian besar umat awam Katolik naik ke panggung sebagai tanda dukungan kepada Kaisar. Namun, Paus Petrus tetap duduk tegak dan diam seperti patung, tidak terpengaruh bujuk rayu Kaisar. Sebagai “bukti” perhatiannya pada umat Kristiani, Kaisar mengumumkan pembangunan museum barang antik Kristen dan pendanaan untuk penelitian cerita rakyat dan legenda Kristen kuno. Museum ini akan dibangun di ibu kotanya, Konstantinopel.
Pemuka agama dari wilayah Timur dan Utara, separuh dari kelompok kepercayaan tua, dan lebih dari separuh pendeta, biarawan, dan umat awam Ortodoks Kristen bersorak gembira dan naik ke panggung sebagai tanda dukungan kepada Kaisar. Namun, Pastor Yohanes tetap setia pada Paus Petrus. Ia berjalan menuju Paus dan disusul oleh umat Ortodoks lainnya yang tidak tergoda bujuk rayu Kaisar. Untuk menarik perhatian para ilmuwan teologi, Kaisar mengumumkan bahwa dalam beberapa hari lagi dia akan menerima gelar Doktor Teologi Kehormatan dari Universitas Tubegean.
Ini membuat sebagian besar teolog akademis naik ke panggung, meskipun beberapa terlihat ragu dan melirik ke arah Profesor Pauly. Profesor Pauly sendiri tetap duduk teguh dan tertunduk. Tiba-tiba, salah satu teolog melompat turun dari panggung dan bergabung dengan kelompok Profesor Pauly dan Paus yang semakin sedikit. Akhirnya, hanya tersisa tiga kelompok kecil yang teguh pendirian: kelompok Pastor Yohanes, Paus Petrus, dan Profesor Pauly.
Kaisar bingung melihat para pemuka ini menolak tawarannya. Dengan nada sedih, dia bertanya kepada mereka, “Apa lagi yang bisa saya lakukan untuk kalian? Apa lagi yang kalian minta? Kalian telah ditinggalkan oleh mayoritas saudara dan pemimpin kalian sendiri, dikutuk oleh suara rakyat. Apa yang paling kalian anggap suci dalam agama Kristen?”
Mendengar pertanyaan ini, Pastor Yohanes bangkit tegak seperti lilin putih yang tinggi dan menjawab dengan rendah hati, “Yang Mulia Kaisar, hanya ada satu hal yang paling kami cintai dalam agama Kristen, yaitu Kristus sendiri. Dialah segalanya, dan segala sesuatu berasal dari Dia. Kami tahu bahwa di dalam Dia hidup roh Keilahian yang sejati. Kami bersedia menerima segala berkat dari Anda, selama kami mengenali tangan dermawan Anda sebagai Tangan Kudus Kristus Putra Allah. Dan ketika Anda bertanya apa yang bisa Anda lakukan untuk kami, jawaban kami sederhana: nyatakanlah di hadapan kami sekarang Kredo Kristen. Katakan ‘Aku percaya kepada Tuhan kita Yesus Kristus Anak Allah …’ Nyatakanlah iman Anda kepadaNya, dan kami akan menerima Anda dengan kasih. Kami akan menerima Anda sebagai pembawa berita kedatangan-Nya yang kedua yang mulia ke bumi ini.”
Pastor Yohanes melihat menembus kedok Kaisar. Beliau berteriak kepada para pengikutnya, “Anak-anakku, ini adalah Anti-Kristus!” Saat itu juga, kilatan petir menyambar masuk ke kuil dan menghantam Pastor Yohanes. Suara gemuruh guntur menggelegar. Semua hening sejenak. Ketika para pengikut Kristen yang tuli dan buta tersadar, mereka melihat Pastor Yohanes terbaring kaku tak bernyawa di lantai. Tiba-tiba, satu kata bergema di seluruh kuil: “Contradicitur!” (Dalam Bahasa Latin, artinya “Ditolak!”) Paus Petrus bangkit dengan wajah memerah marah. Dia mengangkat tongkatnya ke arah Kaisar. “Penguasa kami satu-satunya adalah Yesus Kristus, Anak Allah yang hidup! Engkau telah mendengar siapa dirimu sebenarnya! Keluar dari sini! Kain, pembunuh saudara sendiri! Keluar, kau perwujudan setan! Untuk selama-lamanya aku mengusirmu, anjing najis, dari kawanan Gereja dan menyerahkanmu kembali kepada bapakmu, iblis!” Suara guntur yang lebih keras dari kutukan terakhir Paus menggema. Dan Paus terakhir itu pun jatuh tak bernyawa.
Di dalam kuil yang sunyi itu tertinggal dua jenazah dan sekelompok kecil orang Kristen yang gemetar ketakutan. Hanya Profesor Pauly yang tetap tenang. Dia mengambil secarik kertas yang tertinggal oleh salah satu sekretaris kerajaan dan mulai menulis. Setelah selesai, dia berdiri dan membacakannya dengan suara lantang:
“Dalam nama dan kemuliaan Penebus kita satu-satunya, Yesus Kristus, Konsili Gereja Kristen Dunia telah berkumpul di Yerusalem. Setelah Saudara baik kita, Pastor Yohanes, perwakilan Kristen Timur, menyatakan penipu besar itu sebagai musuh Tuhan dan menuduhnya sebagai Anti-Kristus yang sebenarnya, seperti yang dinubuatkan dalam nubuat, Petrus, perwakilan Kristen Barat, dengan tepat dan secara kekal mengucilkan penipu itu dari Gereja Tuhan. Hari ini saya berdiri di sini di hadapan jenazah dua orang martir, dibunuh karena iman mereka kepada kebenaran. Sebagai saksi bagi Kristus, konsili memerintahkan: Hentikan semua hubungan dengan dia yang telah dikucilkan, dan dengan semua yang mengakuinya. Hai orang-orang beriman, pergilah ke padang gurun dan tunggu di sana kedatangan Tuhan Yesus Kristus yang sebenarnya.”
—
Penulis ini berpendapat bahwa masa depan akan penuh dengan kesulitan dan bencana karena dua alasan utama:
alasan pertama mengapa masa depan mungkin penuh kesulitan dan bencana, untuk menghentikan kehancuran moral. Jika tidak ada bencana, maka ketidakpercayaan kepada Tuhan akan terus berlanjut. Bencana bagi masyarakat yang jahat berfungsi seperti kematian bagi orang berdosa: yaitu penghentian dari perbuatan jahat mereka. Mengapa Tuhan menempatkan malaikat dengan pedang berapi di Taman Eden setelah kejatuhan manusia? Bukankah itu untuk mencegah manusia pertama memakan buah pohon kehidupan, yang akan membuat kejahatan mereka abadi? Tuhan tidak ingin ketidakbenaran menjadi kekal. Revolusi, kehancuran moral, dan kekacauan harus menjadi pengingat bahwa cara berpikir kita salah dan impian kita tidak suci. Kebenaran moral dibuktikan kebenarannya melalui kehancuran yang terjadi ketika kebenaran tersebut ditolak. Kekacauan di zaman kita adalah argumen terkuat yang menentang ateisme. Bencana menjadi bukti kuasa Tuhan di dunia yang tidak memiliki arti, karena dengan bencana, Tuhan mengakhiri keberadaan yang tidak berarti tersebut. Kehancuran akibat meninggalkan Tuhan menjadi kemenangan makna, penegasan kembali tujuan hidup. Kesengsaraan adalah ungkapan penghukuman Tuhan terhadap kejahatan, pendaftaran Penghakiman Ilahi. Sama seperti neraka bukanlah dosa, tetapi akibat dari dosa, maka masa-masa yang kacau ini bukanlah dosa, tetapi akibat dari dosa. Bencana mengungkapkan bahwa kejahatan merugikan diri sendiri; kita tidak bisa berpaling dari Tuhan tanpa menyakiti diri kita sendiri.
alasan kedua mengapa masa depan mungkin penuh kesulitan dan bencana: untuk menjaga agar para pengikut Kristus tetap terpisah dari pengaruh dunia. Menurut penulis, Tuhan menghendaki para pengikut Kristus berbeda dari orang yang tidak mengikuti ajaran-Nya. Alkitab (Yohanes 15:19) menyatakan, “Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.” Sayangnya, batasan antara pengikut Kristus dan yang bukan, semakin kabur. Banyak orang Kristen yang hidupnya biasa-biasa dan mudah berkompromi. Mereka mengikuti tren dunia, termasuk dalam hal hiburan, pendidikan anak, dan pandangan hidup. Bahkan, praktik yang tidak sesuai ajaran agama seperti perceraian dan pernikahan kembali mulai diterima. Ada pemimpin buruh Katolik yang mendukung Komunis untuk Kongres, atau penulis Katolik yang mau memimpin organisasi berpaham Komunis untuk menyebarkan ide totalitarianisme dalam film. Tidak ada lagi pertentangan yang seharusnya ada antara pengikut Kristus dan dunia. Dunia justru yang lebih mempengaruhi kita. Kita tidak lagi terpisah dari dunia. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus kepada jemaat Korintus, “persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial (Iblis)?” (2 Korintus 6:14-15). Maksudnya, para pengikut Kristus yang seharusnya menjadi pembawa perubahan justru terkena pengaruh buruk dunia. Akibatnya, mereka kehilangan kuasa untuk memperbaiki keadaan. Karena itu, menurut penulis, agar kemurnian ajaran Kristus bisa ditegakkan kembali, perlu ada “pembakaran” dalam bentuk masa-masa sulit. Kesengsaraan ini akan memisahkan kita dari pengaruh dunia. Orang jahat akan menolak, meremehkan, membenci, dan menganiaya kita. Saat itulah kesetiaan kita diuji, dan kita harus menyatakan dengan tegas di pihak siapa kita berdiri. Seperti pohon, ketika diterpa angin, pohon yang kuat akan tetap berdiri teguh. Begitu pula dengan para pengikut Kristus. Jumlah kita mungkin berkurang, tetapi kualitas iman kita akan meningkat. Kata-kata Yesus dalam Matius 12:30 akan terbukti: ” siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.”
Penulis ini membahas masa depan yang penuh gejolak dan kemungkinan bencana. Dia tidak terlalu khawatir tentang Perang Dunia Ketiga, tetapi lebih pada munculnya kembali kekuatan jahat dan masa-masa sulit yang disebutnya sebagai “Hari Binatang Buas.” Banyak pemikir besar, baik Kristen maupun non-Kristen, melihat masa depan sebagai masa yang berbahaya. Spengler percaya bahwa kita berada di musim dingin peradaban; Fisher melihat tanda-tanda kematian peradaban Eropa; Sorokin melihat akhir dari budaya materialisme; Berdyaev melihat akhir dari zaman akal budi yang diterangi iman; Marx melihat keruntuhan kapitalisme; Lippman melihat masa ketika orang tidak lagi menganggap perlu untuk meneruskan warisan Kristen yang baik kepada generasi berikutnya; Toynbee melihatnya sebagai tahap ketiga krisis dalam drama Yunani. Tahap-tahap menuju bencana tersebut adalah:
- Hybris: Kesombongan yang muncul dari kemakmuran materi, diwujudkan dalam bentuk kekuasaan.
- Nemesis: Keangkuhan atau kesombongan yang melawan Tuhan, di mana manusia menganggap dirinya setara dengan Tuhan.
- Ate: Bencana, di mana keadilan Tuhan akan merendahkan kesombongan manusia.
Jauh sebelumnya, pada akhir Perang Dunia Pertama, Lord Grey pernah berkata bahwa lampu-lampu peradaban sedang dipadamkan di seluruh Eropa dan tidak akan dinyalakan lagi di generasinya. Sebelumnya lagi, seorang penyair Jerman dan novelis Rusia sudah memperingatkan orang-orang tentang tanda-tanda zaman. Penulis Jerman, Heine, pada tahun 1834 dalam bukunya “Religion and Philosophy in Germany,” memperingatkan: “Waspadalah terhadap Jerman ketika Salib Kristus tidak lagi mempesona rakyatnya. Kekristenan telah – dan itu adalah manfaat terbesarnya – agak mengurangi nafsu perang brutal Jerman. Namun, itu tidak bisa menghancurkannya; dan begitu jimat penjinak, Salib, hancur, kebiadaban para pejuang lama akan berkobar lagi, kemarahan gila yang banyak dibicarakan dan dinyanyikan oleh para penyair Nordik. Jimat itu rapuh. Akan tiba saatnya ketika itu akan runtuh dengan menyedihkan.” Heine meramalkan kebangkitan kembali paham barbarisme Jerman jika mereka meninggalkan ajaran Kristen.
Pada tahun 1842, Heinrich Heine, teman dekat Karl Marx (pendiri komunisme), melihat efek buruk dari filsafat komunisme dan memberikan peringatan: “Komunisme adalah nama dari lawan yang mengerikan yang akan melawan sistem borjuis saat ini dengan segala akibatnya. Ini akan menjadi konflik yang mengerikan. Bagaimana akhirnya? Hanya para dewa dan dewi yang tahu masa depan. Yang kita tahu adalah, meskipun saat ini [komunisme] jarang dibahas dan masih jauh, ia seperti pahlawan suram yang berlatih di loteng kumuh beralas jerami. Komunisme ditakdirkan untuk memainkan peran yang besar, meski sementara, dalam tragedi modern. Ia hanya menunggu saatnya untuk tampil di panggung. Kita tidak boleh melupakan aktor ini. Kita akan terus memantau persiapannya secara rahasia sebelum debutnya. Informasi ini mungkin lebih penting daripada laporan tentang intrik pemilihan, perselisihan partai, dan intrik kabinet.”
Heinrich Heine menggambarkan suasana mencekam di Paris setelah pemilihan umum (mungkin tahun 1848). Berita pemilihan memang tidak perlu dibaca karena ketegangan sudah terlihat di wajah semua orang. Suasana ini mengingatkan pada masa krisis besar sebelumnya. Orang-orang seolah merasakan datangnya badai besar. Heine khawatir gejolak di Paris akan memicu perang yang mengerikan. Perang ini akan melibatkan dua negara peradaban terhormat, yaitu Jerman dan Prancis, dan berujung pada kehancuran bersama. Inggris dan Rusia dianggap lebih aman karena lokasinya yang strategis. Perang ini hanyalah babak awal dari drama yang lebih besar. Berikutnya akan terjadi Revolusi Eropa atau bahkan Revolusi Dunia. Ini adalah pertempuran raksasa antara mereka yang tidak memiliki harta dan mereka yang memiliki harta. Nasionalisme dan agama tidak lagi menjadi penting. Bumi akan menjadi satu tanah air dan kebahagiaan di dunia ini menjadi satu-satunya agama. Heine tidak yakin bagaimana drama ini akan berakhir. Namun, ia memperkirakan dominasi kekuatan besar yang akan menindas rakyat. Masa depan terasa suram, penuh dengan kekerasan dan penderitaan.
Sang Paus mengatakan bahwa kita berada pada kembalinya abad-abad awal Gereja. Banyak yang percaya kita diselamatkan dari kekacauan total hanya oleh kebiasaan berpikir, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang bergantung pada keyakinan-keyakinan yang telah lama ditinggalkan. Dengan keluarga yang hancur, dengan satu perceraian untuk setiap dua pernikahan di 35 kota besar Amerika Serikat, dengan lima perceraian untuk setiap enam pernikahan di Los Angeles, tidak ada yang bisa disangkal bahwa sesuatu telah putus. Di luar semua fakta tragis ini dan fakta-fakta lain, seperti upaya untuk mendasarkan perdamaian pada kompromi antara kekuatan, bukan pada keadilan dan janji-janji seperti Piagam Atlantik, fakta mengejutkan muncul bahwa zaman kita—dan hanya zaman kita—telah menyaksikan, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, penganiayaan terhadap Perjanjian Lama oleh Nazi dan penganiayaan terhadap Perjanjian Baru oleh Komunis. Setiap orang yang memiliki hubungan dengan Allah dibenci hari ini, apakah panggilannya adalah untuk mengumumkan Putra-Nya yang Ilahi, Yesus Kristus, seperti yang dilakukan orang Yahudi, atau untuk mengikutinya seperti yang dilakukan orang Kristen. Sesekali dalam sejarah, Setan diberi tali panjang, karena kita tidak boleh pernah lupa bahwa Tuhan kita berkata kepada Yudas dan kawan-kawannya: “Inilah jammu.” Tuhan memiliki hari-Nya, tetapi kejahatan memiliki jamnya ketika gembala akan dipukul dan domba-domba tersebar. Tetapi meskipun kita berbicara tentang munculnya Anti-Kristus melawan Kristus, janganlah mengira bahwa itu karena kita takut untuk Gereja. Kita tidak; kita takut untuk dunia. Bukan infalibilitas yang kita khawatirkan, tetapi ketergelinciran dunia; kita gemetar bukan karena Allah mungkin digulingkan, tetapi karena barbarisme mungkin berkuasa; bukan Transubstansi yang mungkin binasa, tetapi rumah; bukan sakramen yang mungkin memudar, tetapi hukum moral. Gereja tidak dapat memiliki kata-kata untuk para wanita yang menangis yang berbeda dari kata-kata Kristus dalam perjalanan ke Kalvari: “janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Lukas 23:28) Gereja telah bertahan dari krisis-krisis besar lainnya dalam 19 abad keberadaannya, dan ia akan hidup untuk menyanyikan requiem atas kejahatan-kejahatan masa kini. Gereja mungkin memiliki Jumat Agungnya, tetapi ini hanya prakondisi untuk Minggu Paskahnya, karena Janji Ilahi tidak akan pernah menjadi sia-sia: “… dan gerbang neraka tidak akan menguasainya.” “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20) “Barangsiapa jatuh ke atas batu itu, ia akan hancur, dan barangsiapa ditimpa batu itu, ia akan remuk.” (Lukas 20:18) Tidak pernah sebelum dalam sejarah ada argumen yang begitu kuat untuk perlunya Kekristenan, karena manusia sekarang menemukan bahwa penderitaan dan kesusahan mereka, perang-perang dan revolusi-revolusi mereka bertambah sejalan dan sebanding dengan pengabaian terhadap Kekristenan. Orang-orang Kristen menyadari bahwa saat krisis bukan saat putus asa, tetapi saat kesempatan. Semakin kita bisa mengantisipasi kehancuran, semakin kita bisa menghindarinya. Begitu kita menyadari bahwa kita berada di bawah Murka Ilahi, kita menjadi layak untuk Kasih Ilahi. Karena kelaparan, anak yang hilang berkata: “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku…” (Lukas 15:18) Disiplin-disiplin Tuhan sendiri menciptakan harapan. Pencuri di sebelah kanan datang kepada Tuhan melalui suatu penyaliban. Orang Kristen menemukan dasar untuk optimisme dalam pesimisme yang sangat mendalam, karena Paskahnya hanya dalam waktu tiga hari dari Jumat Agung.
Ketika kita melihat dunia dan menyaksikan kekejaman yang mengarah pada perbudakan seluruh populasi, kita mungkin bertanya mengapa begitu banyak orang tak bersalah harus menderita. Namun, Tuhan sungguh menyayangi mereka. Salah satu keajaiban surga adalah melihat betapa banyak orang kudus yang muncul di tengah-tengah kekacauan, perang, dan revolusi. Yohanes melihat ” … suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” Dan semua malaikat berdiri mengelilingi takhta dan tua-tua dan keempat makhluk itu; mereka tersungkur di hadapan takhta itu dan menyembah Allah,” (Wahyu 7:9-11) “Dan seorang dari antara tua-tua itu berkata kepadaku: “Siapakah mereka yang memakai jubah putih itu dan dari manakah mereka datang?” Maka kataku kepadanya: “Tuanku, tuan mengetahuinya.” Lalu ia berkata kepadaku: “Mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba.” (Wahyu 7:13-14) Setelah Tuhan Ilahi kita menggambarkan bencana-bencana yang akan menimpa sebuah peradaban yang terganggu secara moral, setelah Dia meramalkan bagaimana militer akan mengambil alih, dan tempat-tempat kudus mereka menjadi keji, Dia tidak berkata, “Takut,” tetapi, “Apabila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat.” (Lukas 21:28)
Orang Yahudi, Protestan, dan Katolik, serta semua yang memiliki niat baik, sadar bahwa dunia memanggil jiwa mereka untuk usaha heroik dalam pertumbuhan spiritual. Kerjasama di antara mereka tidaklah untuk melawan musuh luar, karena “karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Efesus 6:12) Kami juga tidak meminta persatuan agama, karena hal itu tidak mungkin jika harus membayar dengan kehilangan persatuan dalam kebenaran. Namun, kami memohon untuk persatuan umat beragama, di mana setiap orang maju secara individu sesuai dengan pemahaman hatinya, tetapi bersama-sama berjuang untuk meningkatkan moralitas dunia; suatu persatuan melalui doa, bukan kebencian. Jika Setan memiliki sekutu, mengapa Tuhan dan Putra-Nya tidak? Prajurit Romawi yang membangun kuil bagi orang Yahudi adalah sekutu dalam iman mereka kepada Allah. Wanita di Tirus dan Sidon menjadi sekutu Kristus. Kekuatan kejahatan bersatu; kekuatan kebaikan terbagi. Mungkin kita tidak bisa berkumpul di bangku yang sama—meskipun itu akan luar biasa jika bisa—tetapi kita bisa bersatu dalam doa.
Tidak ada kesepakatan yang kotor atau memberatkan yang akan membimbing kita. Mereka yang beriman harus tetap dalam anugerah, dan mereka yang tidak, sebaiknya mencari pemahaman, karena di masa depan, satu-satunya cara untuk mengatasi ketakutan adalah dengan menyerahkannya dan berdoa. Masalah paling mendasar di dunia ini adalah jiwa manusia, dan itulah yang harus kita perjuangkan. Seperti yang dikatakan Santo Petrus kepada orang-orang Romawi, “Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup” (2 Petrus 3:11). Jalan keluar dari krisis ini pada dasarnya adalah spiritual, karena masalahnya bukan pada cara kita mengatur keuangan, tetapi pada cara kita menjaga jiwa kita. Waktunya lebih dekat daripada yang kita kira.
Perjuangan ini begitu mendasarnya bersifat spiritual, sangat berkaitan dengan kekuatan Kristus dan Anti-Kristus, sehingga ada kebijakan terencana yang dipraktikkan oleh Komunis di Korea. Mereka pergi ke rumah-rumah Kristen yang diubah menjadi Kristen oleh misionaris dan bertanya: “Apakah Anda percaya kepada Kristus?” Jika pemilik rumah menjawab ya, Komunis itu berkata dia akan kembali minggu depan. Jika kemudian dia menjawab: “Saya percaya pada Stalin,” dia boleh tetap tinggal di rumahnya dan memiliki tanahnya. Jika tidak, mereka akan disita dan dia akan dibunuh. Dan ada yang berpikir perjuangan ini antara individualisme dan kolektivisme! Karena perjuangan ini adalah antara Kerajaan ateisme massal dan Kerajaan Tuhan, maka Santo Mikael harus sekali lagi dipanggil, seperti yang dipanggil oleh Chesterton: “O Michael, Pangeran Fajar, yang pernah menaklukkan Lucifer yang ingin menjadi Tuhan, selamatkan kami dari dunia dewa-dewa kecil kami. Ketika dunia pernah retak karena cibiran di surga, engkau bangkit dan menyeret turun dari tujuh surga kesombongan yang akan memandang rendah Yang Maha Tinggi.” Jadi sekarang: