“Gereja tidak mengajarkan bahwa aturan makanan dalam Perjanjian Lama harus diterapkan pada umat Kristen, karena Kristus telah menggenapi hukum itu dan membebaskan umat dari belenggu hukum ritus.” – Katekismus Gereja Katolik 582
Pilihan Pribadi dan Iman
Sebagai umat Katolik, saya tidak terikat oleh aturan makanan tertentu seperti larangan makan babi atau seafood yang dianut beberapa denominasi Kristen lainnya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, ada makanan yang saya hindari bukan karena kewajiban teologis, melainkan karena alasan pribadi. Misalnya, saya memilih untuk tidak memakan RW (masakan daging anjing). Bagi saya, anjing adalah hewan yang lebih dari sekadar ternak – mereka adalah teman yang setia, yang sering memberikan dukungan dan hiburan. Meskipun pilihan ini tidak didasarkan pada ajaran agama, hal ini mencerminkan bagaimana keputusan pribadi mengenai makanan sering kali bersumber dari hubungan emosional atau nilai-nilai individu.
Meski begitu, saya juga memahami bahwa ada pandangan lain yang melihat konsumsi RW sebagai sesuatu yang wajar. Di beberapa daerah, terutama di budaya-budaya tertentu, memakan daging anjing adalah hal biasa dan dianggap bagian dari tradisi kuliner lokal. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan mengenai makanan sering kali berakar pada nilai-nilai budaya, dan apa yang mungkin terasa sensitif bagi sebagian orang, mungkin dianggap normal oleh orang lain.
Pendekatan ini juga relevan dengan diskusi mengenai larangan makan babi dan seafood dalam beberapa denominasi non-Katolik. Beberapa kelompok mendorong umat Kristen untuk mengikuti aturan makanan dari Perjanjian Lama, tetapi Gereja Katolik memiliki pandangan berbeda mengenai hukum ini. Artikel ini akan mengkaji lebih lanjut kritik Gereja Katolik terhadap larangan tersebut, serta menjelaskan bagaimana hukum makanan dalam Alkitab digenapi melalui Kristus.
Asal Mula Larangan Makanan
Dalam Kitab Imamat 11, Allah memberikan kepada bangsa Israel aturan yang jelas mengenai binatang yang boleh dan tidak boleh dimakan. Binatang seperti babi, udang, dan kerang termasuk dalam daftar makanan yang dianggap “haram” atau najis. Larangan ini, yang merupakan bagian dari Hukum Seremonial, memiliki tujuan utama untuk memisahkan bangsa Israel dari bangsa-bangsa lain dan menjaga kesucian mereka di hadapan Allah.
Namun, penting untuk memahami bahwa hukum makanan ini berfungsi sebagai bagian dari ritus seremonial, yang bertujuan lebih kepada kebersihan rohani daripada fisik. Larangan tersebut berperan sebagai penanda identitas unik bangsa Israel, bukan hanya demi alasan kesehatan.
Memahami Lebih Dalam: Penggenapan Hukum dalam Kristus
Ketika Yesus datang, Dia tidak meniadakan hukum Taurat, tetapi datang untuk menggenapinya (Matius 5:17). Dalam pengertian Gereja Katolik, penggenapan ini berarti bahwa hukum seremonial, termasuk aturan makanan, tidak lagi mengikat umat Kristen. Kristus telah mengangkat hukum ritus ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih spiritual.
- Markus 7:19: Yesus menjelaskan bahwa bukan makanan yang membuat seseorang najis, melainkan apa yang keluar dari hati mereka. Dalam ayat ini, Yesus menyatakan bahwa semua makanan halal, membebaskan umat dari batasan ritus Yahudi yang sebelumnya membatasi apa yang boleh dikonsumsi.
- Kisah Para Rasul 10:9-16: Visi yang diberikan kepada Rasul Petrus memperjelas bahwa segala sesuatu yang sebelumnya dianggap najis kini telah disucikan oleh Allah. Visi ini menandakan penghapusan pembatasan makanan dalam ajaran Kristen dan menyatakan bahwa larangan-larangan ritus Yahudi tidak lagi berlaku.
Kehidupan Kristen: Kebebasan dalam Kristus
Dalam Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15:28-29), para Rasul menetapkan bahwa hukum makanan Yahudi tidak lagi diterapkan kepada orang Kristen non-Yahudi. Umat Kristen dipanggil untuk hidup dalam kasih Kristus dan kesucian hati, bukan dengan mematuhi hukum-hukum ritus yang sudah digenapi oleh Kristus.
- Kebebasan dalam Kristus: Gereja Katolik menekankan bahwa umat Kristen telah dibebaskan dari peraturan seremonial Perjanjian Lama. Fokus utama umat sekarang adalah ketaatan pada hukum moral dan kasih, bukan pada hukum-hukum makanan yang sudah tidak berlaku lagi.
- Katekismus Gereja Katolik (582): Gereja mengajarkan bahwa hukum seremonial dan ritus, termasuk aturan makanan, tidak lagi mengikat umat Kristen, karena hukum-hukum ini hanyalah bayangan dari kedatangan Kristus.
Alasan Kesehatan: Pilihan Personal, Bukan Teologis
Beberapa denominasi mungkin melarang makan babi dan seafood dengan alasan kesehatan, namun Gereja Katolik tidak mendasarkan ajaran spiritualnya pada alasan-alasan duniawi seperti kesehatan. Meski penting untuk menjaga tubuh kita sebagai bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19-20), kesucian hati lebih utama dalam ajaran Katolik. Alasan kesehatan untuk menghindari makanan tertentu adalah pilihan pribadi, bukan kewajiban teologis.
Pendekatan ini juga mencerminkan kebebasan yang dimiliki oleh umat Kristen untuk membuat keputusan berdasarkan preferensi pribadi atau nilai-nilai budaya, tanpa harus memaksakan batasan teologis yang tidak relevan lagi setelah penggenapan hukum dalam Kristus.
Kritik Terhadap Denominasi Non-Katolik
Denominasi non-Katolik yang mengajarkan larangan makan babi dan seafood dengan alasan teologis atau kesehatan sering kali gagal memahami penggenapan hukum Taurat dalam Kristus. Pandangan seperti ini cenderung membawa umat kembali ke bentuk legalisme, yaitu usaha untuk mencapai kesucian dengan mematuhi aturan-aturan hukum ritus. Legalisme semacam ini tidak sesuai dengan pesan kebebasan dan kasih yang ditekankan dalam Perjanjian Baru.
- Bahaya Legalistik: Usaha untuk menghidupkan kembali hukum makanan Yahudi dalam kehidupan Kristen bisa menjadi bentuk legalisme, yang menyimpangkan ajaran tentang kebebasan yang diberikan oleh Kristus. Gereja Katolik menolak pandangan ini, karena fokus utama dalam kehidupan Kristen adalah hubungan dengan Kristus melalui iman, kasih, dan ketaatan kepada hukum moral.
Intisari Ajaran Gereja Katolik
Gereja Katolik dengan tegas menyatakan bahwa larangan makan babi dan seafood bukanlah kewajiban teologis bagi umat Kristen. Kristus telah menggenapi hukum Taurat, dan umat Kristen dipanggil untuk hidup dalam kebebasan baru yang diberikan oleh-Nya. Hukum ritus Yahudi, termasuk aturan makanan, tidak lagi mengikat umat Kristen, dan fokus utama adalah menjaga kesucian hati dan hidup dalam kasih.
Mencoba menghidupkan kembali hukum makanan Perjanjian Lama sebagai kewajiban teologis bagi umat Kristen merupakan kesalahpahaman teologis yang berpotensi menyesatkan dari kebebasan dan kasih yang ditawarkan oleh Injil Kristus. Seperti halnya pilihan saya untuk tidak memakan RW berdasarkan alasan personal, bukan teologis, umat Kristen juga bebas membuat keputusan makanan berdasarkan preferensi pribadi, bukan kewajiban agama.