Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah titik balik penting dalam sejarah Gereja Katolik, yang merespons perubahan sosial dan teologis abad ke-20 dengan berbagai pembaruan yang signifikan. Salah satu isu sentral yang diulas adalah pandangan Gereja mengenai keselamatan, yang sebelumnya diringkas dalam frasa Latin “Extra Ecclesiam Nulla Salus” (Di luar Gereja tidak ada keselamatan). Pandangan ini menegaskan eksklusivitas Gereja Katolik sebagai satu-satunya mediator keselamatan. Namun, Konsili Vatikan II membawa perubahan signifikan, merangkul pendekatan yang lebih inklusif terhadap keselamatan, yang dapat digambarkan melalui frasa “Extra Ecclesiam Salus Est” (Di luar Gereja ada keselamatan). Perubahan ini adalah hasil dari refleksi teologis yang mendalam dan dialog terbuka yang dipimpin oleh Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI.
Peralihan Pandangan: Dari Eksklusivitas Menuju Inklusivitas
Sebelum Konsili Vatikan II, doktrin Extra Ecclesiam Nulla Salus didasarkan pada ajaran-ajaran Bapa Gereja dan konsili-konsili awal, yang menekankan bahwa keselamatan hanya bisa dicapai melalui sakramen-sakramen Gereja Katolik. St. Siprianus dari Kartago pada abad ke-3, misalnya, menyatakan, “Tidak ada yang bisa memiliki Allah sebagai Bapa yang tidak memiliki Gereja sebagai Ibu” (Epistulae 73:21). Doktrin ini ditegaskan kembali oleh Konsili Firenze pada tahun 1442, yang menyatakan bahwa “tak seorang pun di luar Gereja Katolik, tidak peduli seberapa baik hidup mereka, dapat memperoleh keselamatan kekal” (Laetentur Caeli).
Namun, pada abad ke-20, berkembang kesadaran bahwa pandangan ini terlalu sempit dan tidak sepenuhnya mencerminkan kasih Allah yang melampaui batas-batas institusional manusia. Gereja mulai mengakui bahwa banyak orang di luar Gereja Katolik yang hidup sesuai dengan hati nurani yang murni dan memiliki pengabdian pada kebenaran serta kebaikan.
Konsili Vatikan II, yang diadakan di tengah-tengah ketegangan geopolitik dan perubahan sosial yang pesat, merespons konteks dunia yang semakin pluralistik dengan pendekatan yang lebih inklusif. Paus Yohanes XXIII, dalam pidato pembukaannya pada Konsili, menyatakan harapannya agar Gereja tidak hanya mengecam kesalahan, tetapi juga merangkul dunia dengan kasih, dialog, dan pengertian. Semangat ini kemudian menjadi arah baru bagi Gereja yang lebih terbuka terhadap umat manusia di luar batas-batas formal institusional.
Lumen Gentium: Jalan Utama tetapi Bukan Satu-satunya
Dalam dokumen Lumen Gentium (1964), Konsili Vatikan II menegaskan bahwa keselamatan tetap berakar dalam Gereja Katolik sebagai jalan utama. Namun, Gereja juga mengakui bahwa rahmat Allah dapat beroperasi di luar batas-batas formal Gereja. Dokumen ini menyatakan bahwa mereka yang “dengan hati nurani yang tulus mencari Allah dan berusaha menjalankan kehendak-Nya sebagaimana mereka mengenalnya melalui perintah hati nurani” dapat mencapai keselamatan, meskipun mereka tidak mengenal Injil atau tidak menjadi bagian dari Gereja Katolik (Lumen Gentium 16).
Pandangan ini menggeser fokus dari eksklusivitas institusional menjadi pengakuan atas karya keselamatan Allah yang lebih luas, yang mencakup semua yang mengikuti hati nurani mereka dengan tulus dan hidup sesuai dengan kebenaran.
Nostra Aetate: Hubungan dengan Agama Lain
Nostra Aetate (1965) adalah dokumen yang secara khusus membahas hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen. Dokumen ini mengakui adanya kebenaran dan hikmat dalam tradisi agama lain serta menyerukan dialog dan kerja sama yang lebih erat antara umat Katolik dan penganut agama lain. Sebagai contoh, dokumen ini memuji agama-agama Timur seperti Hindu dan Buddha atas pemahaman mendalam mereka tentang kehidupan spiritual dan eksistensi manusia, serta menghormati umat Muslim yang “menghormati Allah yang satu, hidup, dan ada” (Nostra Aetate 3).
Dalam hubungannya dengan Yudaisme, Nostra Aetate menolak antisemitisme dan menyatakan bahwa orang Yahudi tidak dapat dianggap bertanggung jawab secara kolektif atas kematian Yesus Kristus (Nostra Aetate 4). Dokumen ini menjadi landasan bagi hubungan baru yang lebih positif antara Gereja Katolik dan agama-agama lain, serta mencerminkan semangat rekonsiliasi dan keterbukaan yang lebih besar.
Unitatis Redintegratio: Gerakan Ekumenis
Dokumen Unitatis Redintegratio (1964) membuka jalan bagi gerakan ekumenis, yang bertujuan memulihkan kesatuan di antara berbagai denominasi Kristen. Konsili menegaskan bahwa meskipun perpecahan di antara umat Kristen merupakan tragedi, denominasi Kristen lainnya tetap dianggap sebagai saudara dalam iman, dan keselamatan dapat dicapai melalui iman kepada Kristus dan baptisan, bahkan jika seseorang tidak secara formal menjadi bagian dari Gereja Katolik (Unitatis Redintegratio 3).
Pengakuan ini menandai perubahan besar dari sikap Gereja yang sebelumnya lebih eksklusif terhadap denominasi Kristen lainnya, serta mencerminkan komitmen Gereja untuk bekerja sama dalam penyebaran Injil.
Pengaruh Historis dan Teologis: Konteks Perubahan
Perubahan dalam pandangan keselamatan ini terjadi dalam konteks sejarah dan teologi yang lebih luas. Teolog Katolik seperti Karl Rahner memperkenalkan konsep anonymous Christians, yang berpendapat bahwa mereka yang hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral Kristiani, meskipun tidak secara eksplisit beriman kepada Kristus, dapat dianggap sebagai “Kristiani anonim” dan dapat diselamatkan oleh rahmat Allah.
Pada saat yang sama, pengalaman tragis seperti Perang Dunia II dan Holocaust mendorong Gereja untuk mempertimbangkan kembali hubungan lintas agama dan komitmen terhadap dialog dan kerja sama antarumat beragama.
Kesimpulan
Konsili Vatikan II membawa perubahan besar dalam pandangan Gereja Katolik mengenai keselamatan. Pergeseran dari Extra Ecclesiam Nulla Salus menuju Extra Ecclesiam Salus Est mencerminkan pendekatan yang lebih inklusif dan dinamis terhadap bagaimana rahmat Allah beroperasi di dunia. Melalui dokumen-dokumen seperti Lumen Gentium, Nostra Aetate, dan Unitatis Redintegratio, Gereja Katolik mengakui bahwa keselamatan dapat dicapai di luar batas formal Gereja dan membuka pintu bagi dialog antaragama serta antar-denominasi yang lebih erat. Perubahan ini mencerminkan semangat kasih, rekonsiliasi, dan rahmat Allah yang melampaui batas-batas manusia, menjadikan Gereja Katolik lebih relevan di dunia modern yang semakin pluralistik.