Di setiap komunitas paroki, selalu ada sosok-sosok yang mengabdi dengan tulus, baik sebagai dewan paroki, pengurus lingkungan, atau umat awam yang rela menyumbangkan waktu dan tenaga untuk gereja. Mereka mungkin tidak dikenal luas, namun kehadiran dan kerja mereka begitu berarti. Di antara orang-orang ini, ada yang setiap minggu datang untuk memastikan kebersihan dan kerapian lingkungan gereja, mengatur jadwal kegiatan, serta menyiapkan berbagai kebutuhan acara paroki tanpa meminta imbalan. Mereka melakukan semuanya karena cinta kepada Tuhan dan gereja-Nya.
Namun, dalam sebuah komunitas, gosip dan kesalahpahaman kadang tak terelakkan. Ada yang berbisik-bisik, menyangka para sukarelawan gereja itu mungkin mendapatkan sesuatu dari pelayanan mereka. “Mana ada orang yang mau repot-repot begini kalau tidak dibayar?” begitu mungkin gumam sebagian orang. Pertanyaan ini mengundang kita untuk merefleksikan niat terdalam kita dalam pelayanan.
Refleksi: Apakah Aku Mau Menerima Bayaran untuk Pelayanan di Gereja?
Bayangkan diri kita ada di posisi para pengurus paroki atau pengurus lingkungan yang rela berkorban demi gereja. Apakah kita akan tetap melakukan hal yang sama jika tidak ada upah atau imbalan sama sekali? Apakah kita mau mengabdikan diri jika hasil kerja keras kita tidak dilihat atau dihargai oleh manusia? Ini adalah pertanyaan mendasar yang membawa kita pada makna sejati pelayanan.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa pelayanan adalah tindakan kasih yang bebas, bukan sekadar pekerjaan yang diberi imbalan. Berbeda dengan seorang pegawai yang bekerja untuk memenuhi tuntutan gaji atau upah, pelayanan di gereja bersifat sukarela dan bebas, dilakukan dengan kesadaran akan panggilan iman. “Kasih Kristus yang menggerakkan kami,” tulis Santo Paulus dalam 2 Korintus 5:14, mengingatkan kita bahwa penggerak utama pelayanan adalah kasih kepada Tuhan.
Pelayanan Tanpa Pamrih: Bukan Sekadar Pekerjaan
Tentu, ada orang-orang yang bekerja untuk gereja sebagai pegawai, seperti koster atau staf kantor paroki, yang mendapatkan upah untuk pekerjaan mereka. Mereka adalah bagian penting dari komunitas gereja yang menjaga agar kegiatan dapat berjalan lancar. Namun, di sisi lain, pelayanan para pengurus lingkungan, dewan paroki, dan umat awam berbeda sifatnya: mereka mengabdikan diri tanpa bayaran. Mereka bukan pegawai, melainkan relawan yang bekerja demi cinta kasih, bukan demi pengakuan atau upah.
Gereja mengajarkan bahwa pelayanan yang sejati adalah perwujudan iman, tindakan kasih yang lahir dari hati yang ikhlas. Yesus berkata dalam Injil Lukas 6:35, “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik, dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan kembali. Maka upahmu akan besar, dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi.” Demikianlah, setiap langkah yang dilakukan dalam pelayanan adalah bentuk pengabdian tanpa syarat, dan biarlah Tuhan sendiri yang menjadi sumber kekuatan dan upah kita.
Refleksi: Apa Bedanya Aku dengan Seorang Pegawai?
Dalam perjalanan pelayanan, kita dapat bertanya pada diri sendiri, apa bedanya aku yang melayani dengan seorang pegawai? Seorang pegawai bekerja dengan target, tanggung jawab, dan batas waktu yang jelas. Imbalannya adalah gaji atau tunjangan yang sudah disepakati. Namun, dalam pelayanan sukarela, kita mungkin harus bekerja tanpa batas waktu, terkadang di luar kenyamanan, bahkan saat tidak ada yang mengucapkan terima kasih.
Dalam Yohanes 13:14-15, Yesus memberi contoh ketika Ia membasuh kaki para murid. Ia berkata, “Jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberi suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” Pelayanan tanpa pamrih mengajarkan kita untuk melepaskan diri dari ego dan keinginan untuk dihargai, seperti Kristus yang membasuh kaki para murid-Nya dengan kerendahan hati.
Pelayanan Adalah Persembahan untuk Tuhan
Ketika kita melayani tanpa menuntut balasan, kita sesungguhnya sedang mempersembahkan diri kepada Tuhan. Melalui pelayanan yang tulus, kita menyerahkan waktu, tenaga, dan perhatian kita sebagai tanda syukur kepada Tuhan yang telah lebih dulu mengasihi kita. Gereja mengajarkan bahwa dalam setiap tindakan kasih, ada bagian dari Allah yang hadir, dan kita mengambil bagian dalam karya keselamatan-Nya.
Pertanyaan terakhir yang bisa kita renungkan adalah, apakah aku mau terus melayani meski tanpa penghargaan atau pengakuan dari sesama? Setiap pelayanan yang kita lakukan tanpa pamrih menjadi seperti benih yang ditaburkan dalam keheningan, yang akan bertumbuh dan menghasilkan buah pada waktunya. Kita tidak perlu meminta orang lain untuk melihatnya, karena Tuhan sendiri sudah mengetahui niat hati kita.
Semoga melalui renungan ini, kita semakin mengerti bahwa dalam setiap langkah sunyi pelayanan, Tuhan hadir dan merestui. Semoga hati kita terus terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan, tanpa perlu dunia mengetahuinya, karena apa yang tersembunyi bagi manusia selalu berharga di mata-Nya.